Belajar Bahagia dengan Menerima Diri Sendiri

Memoar oleh Anisah (Ilmu Ekonomi Islam 2019)



Bicara soal bahagia, there’s no one in this world yang tidak ingin bahagia. Kebahagiaan adalah hak setiap makhluk, tak terkecuali kita sebagai manusia. Namun, tidak selamanya manusia merasakan kebahagiaan. Hidup ibarat roda yang berputar, ada saat dimana kamu jatuh, dan juga saat dimana kamu sukses.

Hidup di dunia itu sebentar sekali. Mungkin kita tak sadar bahwa diri kita telah menginjak usia 20-an. Rasanya dulu kita masih bisa asik bermain sepulang sekolah tanpa harus memikirkan beban tugas dan aktivitas. Orang tua masih mentolerir banyak hal. Berusaha mengerti dan memahami apa yang kita mau tanpa menuntut. Namun, masa-masa itu kini tinggal kenangan. Kita harus tetap menjalani hidup dan harus siap dengan tantangan yang ada di depan mata. Jikalau ditanya, apakah kamu bahagia sekarang?, kira-kira apa jawabanmu?


Definisi bahagia setiap orang mungkin berbeda-beda. Kalau versiku, bahagia itu ketika aku bisa menerima diri sendiri, baik kekurangan dan kelebihanku. Juga ketika aku bisa merasakan nikmatnya iman. Lalu, kalau ditanya tentang apakah aku bahagia sekarang, mungkin jawabanku belum cukup bahagia. Justru karena aku merasa belum cukup bahagia, aku ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua. 


Kalau kata Ria Ricis, “Bahagia itu kita yang ciptakan”. 


Memang benar. Bahagia itu kita sendiri yang menciptakannya. Itulah kenapa setiap orang punya definisi bahagianya masing-masing. Aku merasa aku belum bisa menerima diriku sendiri secara utuh. Ada titik dimana easy for me to blaming myself. Mungkin ini terdengar agak personal, tapi aku harap ini bisa jadi renungan untuk kita bersama. 


Ada satu momen yang sangat berkesan buatku. Seorang teman pernah berkata,

“Nis, mungkin kamu gak percaya dengan kemampuanmu sendiri. Tetapi orang lain bisa melihat potensi itu. PR nya sekarang, berusaha untuk terus mengasah kemampuan itu sampai kamu bisa cukup yakin. Kalau diri kamu sendiri aja gak yakin sama kemampuan kamu, gimana orang lain mau percaya?”


Mungkin kalimatnya tidak persis, tetapi intinya seperti itu. Yah, you’ve got the point lah.


Setelah mendengar kalimat itu, hatiku rasanya langsung adem. Bagaimana bisa aku bahkan tidak bahagia ketika sekarang saja aku dikelilingi oleh orang-orang hebat, perhatian, peduli, dan penuh aura positif kayak gini??

Aku pun dibuat berpikir lagi. Kalau sekarang aku belum bisa menerima diriku secara utuh, mungkin aku harus belajar untuk ikhlas dalam segala sesuatu. Sesimpel aku bisa ikhlas ketika aku kalah dalam sebuah perlombaan, padahal aku merasa sudah extra effort disana.


Intinya, kalau ditanya bahagia tuh gampang atau susah, ya jawabannya tergantung. Tergantung gimana kamu mengartikan standar kebahagiaan itu sendiri dan cara seperti apa yang kamu pakai untuk berusaha mencapai standar itu. Apakah standar bahagiamu harus punya rumah empat lantai bak istananya Irwan-Zaskia, atau punya followers puluhan juta kayak Ria Ricis? Menurutku kalau hal-hal kayak gitu jadi standar bahagia kayaknya udah over deh. Yang ada nanti kita malah gampang putus semangat. Tetapi kalau sekedar dijadikan target capaian gak masalah. 


Terakhir, mau disclaimer aja sih. Ini segmen untuk berbagi cerita dan opini yaa jadi aku harap no judgement here. I’m also not an expert in this issue. But, if you’re willing to give me feedback, I’ll be glad and thankful.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingat Kembali Betapa Akhirnya Kau Melakukan Sesuatu di Luar Batas

First Times

Tanggung Jawab atas Pilihan Kita