Komunikasi Butuh Hati, Hati-hati!
Memoar oleh Bening Kalimasada A. K. (Teknik Lingkungan 2018)
Masih teringat sangat saat dimana aku tiba-tiba merasa sulit
untuk berkomunikasi. Ingin rasanya hanya memikirkan diri pribadi, mengisolasi
diri, dan tidak mau berinteraksi sama sekali. Pikiran menumpuk dan membukit.
Isi kepala seakan terus melilit. Semuanya terasa begitu sulit.
Entah bagaimana perjalanannya, ketidakcakapan berkomunikasi
ternyata masih terus aku alami. Ingin hidup di gua saja, hidup sendirian, tidak
butuh gawai dan alat komunikasi lainnya. Komunikasi virtual pun masih sulit
saja. Ingin menyalahkan pandemi, tapi apa gunanya menyalahkan hal yang mati.
Menjadi keluarga RK di tengah pandemi adalah hal yang
mudah-mudah-sulit. Bertemu dengan banyak orang hebat baru adalah hal yang
ditunggu-tunggu. Tapi tunggu. Manusia berinteraksi dengan komunikasi. Dan tebak
siapa yang paling cemas soal ini.
Berasrama membuat aku belajar untuk kembali berani membuka
diri, menumbuhkan sisi dependensi, dan menjadi makhluk sosial sejati. Lambat
laun, meski ditekan oleh kewajiban pada awalnya, bercengkrama kini tidak
semenakutkan yang aku rasa dahulu kala.
Kondisi orang memang berbeda-beda. Cara berkomunikasi orang
kadang tidak sama. Namun pengalaman terkait komunikasi dengan sesama teman
asrama yang aku alami ini rasanya seharusnya tidak perlu terjadi.
Pernahkah kalian sesekali merasa ingin mengucapkan kata-kata
manis kepada orang sekitar? Pernahkah juga kalian memberikan dukungan kepada
teman meski dengan obrolan virtual? Atau pernahkah kalian hanya ingini menyapa
seseorang?
Begitulah kadang-kadang yang aku rasakan.
Saat stres menerpa dan tidak ada yang menyemangati, aku
malah ingin memberikan semangat kepada orang yang berada di sisi lain bumi. Bukan
karena ingin dibalas dengan tindakan yang sama, namun sensasi yang dirasa
setelahnya justru yang menumbuhkan semangat dalam dada.
Saat sedih karena merasa tidak punya apa-apa, terkadang
melihat kisah teman-teman di sosial media bisa menjadi obat syukur meski yang
memperoleh sesuatu bukan diri sendiri. Ujaran kegembiraan pun tak kuasa
disampaikan kepada mereka yang sedang berbahagia ini.
Saat jenuh dengan rutinitas, lalu termenung melihat
kehampaan di jendela, perasaan untuk menyapa yang tersayang tiba-tiba datang.
Tanpa basa-basi, ketik sana-sini pada layar gawai, akhirnya muncullah
notifikasi “Hai!”.
Meski terkesan impulsif, untuk bisa melakukan itu semua,
bagiku butuh perjuangan luar biasa. Tidak hanya itu. Untuk kasus komunikasi
disengaja, seperti mengingatkan tugas asrama atau obrolan yang lebih berisi,
juga sama. Kadang terbesit pikiran “Mereka nyaman tidak ya?”, “Perlu seperti
ini tidak ya?”, atau pikiran-pikiran lain yang membuat gelisah. Tapi, jika
pesan virtual sudah tersampaikan di ponsel teman-teman, artinya aku sudah
melewati kebimbangan yang ada.
Kita memang tidak boleh berekspektasi. Namun, kadang
keheranan tetap hadir saat tidak ada jawaban yang datang.
“Apakah mereka sibuk?”
“Apakah mereka suntuk?”
“Apakah mereka membenci aku?”
Tidak usah dipikirkan..
Memang mudah berujar demikian. Tapi di dada rasanya sesak
nian.
Ini bukan kasus dua hati yang saling memadu cinta, ditinggal
sedetik saja hebohnya luar biasa. Terkadang, sunyi tercipta hingga berhari-hari
atau bahkan beberapa kali 7 hari.
Beruntung jika hal itu mudah dilupakan. Terkadang, muncul
lagi perasaan aneh yang dirasakan karena teman yang diajak berbicara virtual
dahulu kala ingin mendiskusikan hal baru. Dan betul saja, ucapan sayang,
semangat, pertanyaan penting yang lalu, dilompati dengan topik yang baru.
Sesekali kebenaran bisa dicari dengan lelucon “Kok yang ini
nggak dibalas?”. Tapi kalau sudah lelah, acuh pun jadi jawabannya. Tapi mau
bagaimana lagi. Yang sudah berlalu ya sudah lah. Meski hingga saat ini tidak
ada dendam atau kesal lagi, ingatan pengalaman komunikasi satu ini masih mudah
untuk diingat kembali.
Komunikasi bukanlah hal yang mudah untuk beberapa orang
dalam kasus tertentu. Terkadang, butuh usaha yang begitu besar hanya untuk
menghubungi seseorang, meski melalui gawai, meski seakan-akan apa yang
diucapkan tidak berarti apapun bagi kita. Komunikasi juga butuh keluangan waktu
yang tidak semua orang miliki sebebas itu. Hal paling sederhana yang bisa kita
lakukan adalah dengan meresponnya, selama apapun atau seburuk apapun respon
kita. Skenario susahnya komunikasi dalam jaringan mungkin bisa menjadi alibi,
tapi coba bayangkan jika percakapan yang berharga itu diucapkan secara langsung
dan kita mengacuhkannya begitu saja.
Hidup berasrama dengan bermanusia secara umum tentu berbeda.
Kita bisa menganggap bahwa manusia lain hanyalah hambatan kecil seperti saat
kita tersenggol akibat berdesakan di kereta. Setelah keluar dari kendaraan
berkecepatan tinggi itu, kita sudah lupa dengan senggolan tipis ataupun yang
membuat kita terjungkal. Kehadiran teman asrama bukan hanya sebagai seonggok
batu di pinggir jalan yang tidak jelas apa dampaknya kepada kita. Jadi,
seharusnya etika berkomunikasi antar teman asrama bisa kita perjuangkan
bersama.
Semoga selalu lapang hati kita menerima apa saja yang
terjadi. Tapi berusaha semaksimal mungkin adalah kunci. Jangan lupa, komunikasi
itu butuh hati. Jadi, hati-hati!
Kak ben!!! benar banget komunikasi apalagi di masa virtual ini jadi lebih sulit. Tidak enak rasanya dighosting apalagi dipenuhi prasangka pada diri sendiri. Jadi, yuk lebih aware dan mungkin "tidak mengghosting orang lain dan tidak berekspektasi lebih saat berkomunikasi" bisa jadi plan progress:)
BalasHapus