Belajar dari Rasa Marah

Memoar oleh Dian Insan Imani (Ilmu Perpustakaan dan Informasi 2019)



Aku akan mengawali sharing kali ini dengan mengingat kembali salah satu film favoritku yakni Inside Out. Saat nonton film ini, kebanyakan dari kita ingat dengan pembawaan karakter joy si ceria atau sadness si murung. Mungkin beberapa dari kita tidak terlalu "notice" dengan disgust, fear, atau anger. Kalau kamu ga paham aku lagi ngomongin apa, wah kamu harus segera nonton sih film "inside out".Selain filmya sangat entartaining, jalan cerita yang dibawain juga relateable dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia. Menonton film ini menurutku adalah langkah awal memahami dasar emosi dari manusia ; memahami apa yang kita rasakan, bagaimana emosi mempengaruhi keseharian kita, dan bagaimana pengalaman di masa lalu turut mempengaruhi perasaan kita. Mungkin selama ini kita tidak sadar emosi apa sih yang sedang dialami. Justru akan semakin parah kalau pengalaman emosi tadi hanya kita batasi sebatas bahagia atau tidak bahagia. Izinkan aku untuk melanjutkan ceritaku ini ya 🙂

Pertama kali aku nonton film ini saat kelas 2 SMA, waktu itu aku masih belum sadar kalau sebenarnya film ini berusaha menerangkan konsep emosi dasar manusia dari perspektif tokoh utama. Waktu itu aku hanya ngeh kalau film ini nyeritain si Riley—anak yang masih belum nerima dirinya pindah rumah. Sampai ada beberapa kejadian yang aku alami dan film ini menjadi penjelasan logis paling simple atas apa yang sedang aku rasakan. Emosi yang ingin aku bahas lebih lanjut adalah marah. Sadar ga sih sering banget marah dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Wajar karena dulu juga aku menganggap marah sebagai emosi paling tidak berguna untuk manusia. Saat ini aku bisa mengatakan bahwa marah-lah yang membuat dian lebih mengenal dirinya.

Aku akan membahas cerita "marah" ini dari pengalaman selama tiga bulan stay di asrama RK. Saat itu keluargaku memang merencanakan setelah lebaran ingin mengunjungi rumah mbah di Jawa Tengah(Btw aku berasal dari Musi Banyuasin Sumatera Selatan). Saat hendak pulang dari rumah mbah, aku memang sudah memutuskan untuk stay beberapa hari di RK. Perkiraanku cuma 2 minggu eh ternyata sampai 3 bulan. Dasar aku 😂 

Selama tiga bulan itu, dua minggu pertama, teman-teman di asrama pada saat itu (Reka, Nurul, Gita, Tisa) merasakan perubahan moodku yang tidak stabil. Dari sana, emosi yang paling kentara adalah marah. Padahal kalau diinget-inget, aku marah bukan gara-gara mereka, meskipun beberapa kali mereka juga bikin kesel. Lalu, penilaian mereka membuat aku merenung dan memikirkan ulang, "kenapa ya aku bisa kayak gini?". Sebenarnya pertanyaan ini sudah muncul sejak awal pandemi. Aku merasakan ada perubahan mood yang menggangu aktivitasku selama berbulan-bulan, khususnya pada saat itu aku merasakan banyak tekanan. Ketika rasanya kesal dan penuh amarah dengan orang lain, defense mechanismku hanya pendam dan tahan. Sampai akhirnya, emosi itu membludak, dan beberapa kali tidak terkendali.

Saat level marahku meledak-ledak, yang aku rasain bukan lega tapi capek benget, baik fisik maupun mental. Terlebih aktivitas keseharianku juga terganggu, aku hanya bisa marah dan nangis. Kondisi seperti ini pernah berlangsung selama dua minggu berturut-turut. Aku bener-bener ga paham kenapa seperti itu dan apa yang menjadi pemicu utama. Jadi Itulah gambaran kondisiku sebelum memutuskan untuk stay beberapa bulan di RK. Bisa dibilang aku masih membawa beban pertanyaan kenapa diriku seperti ini.

Akhirnya selama tiga bulan di asrama, ada beberapa kejadian yang buat aku not look likes friendly person. Saat itu, aku semales itu untuk menanggapi orang apalagi kalau lagi marah. Bawaannya kayak pengen nyuruh mereka diam aja dan pergi jauh-jauh. Akhirnya karena merasa ada yang tidak beres, aku niatkan untuk konseling. Tujuanku hanya ingin tau penjelasan dari perspektif psikologis atas apa yang sedang aku alami dan rasakan. Di tulisan ini, aku gabisa jelasin kenapanya, cuma ada beberapa faktor yang melatarbelakangi itu. Yang ingin aku bagikan, setiap marahku pasti ada pemicu dan latar belakangnya. Jadi aku ga pernah unfriendly ke orang lain kalau tidak ada pemicunya—entah orang itu salah atau memang ada faktor lain.

Selama konseling, aku dikasih panduan untuk mengenal amarahku lebih dalam khususnya lewat media journalling. Sejak SD aku memang sudah terbiasa bercerita lewat medium diary. Tapi, what makes me amaze, ternyata journalling itu ada metodenya. Ga asal nulis lepas aja. Aku dikasih tips and trick biar bisa lebih memahami emosi yang sedang aku alami. Ini format yang jadi panduan aku selama journalling.

Dari konseling ini aku ga langsung dikasih tau "gejala" apa yang sedang aku alami dan bagaimana penyelesainnya. Aku cuman disuruh nulis. Awalnya kesel juga sih karena pengen cepat kelar aja "marah-marah ga jelas" ini. Tapi nih yaa, aku merasa beruntung banget karena jadi paham pola kapan aku akan marah, tahapan diriku saat marah, dan coping mechanism mana yang paling tepat. Selama proses pasca konseling, aku coba nonton ulang inside out dan darisana aku semakin paham setiap makna penggambaran karakternya. Ternyata emosi dalam diri kita punya perannya masing-masing. Justru mengabaikan dan tidak menyalurkannya secara sehat bisa jadi racun loh untuk diri kita. Kayak kita ga bisa gitu untuk maksain buat senang terus, bahagia terus, positif terus sementara diri kita emang lagi sedih dan merasa negatif. Selama kita merasakan emosi-emosi yang sering dianggap negatif oleh orang lain, penting untuk tidak memendamnya dan mengabaikannya. Mungkin saat kita sedih, kita bakal pendam, abaikan, atau alihkan dengan membuka media sosial. Menurutku ini bukan mekanisme yang tepat karena bentuk pengabaian atau pengalihan emosi adalah bukti ketidakjujuran dengan diri sendiri. Bisa jadi, bentuk pengabaian ini yang membuat kita tidak sehat mental.

Apabila diliat dari perspektif sekarang, aku bakal bilang marah bukan tanda kelemahan atau kekurangan, marah adalah emosi alami milik manusia. Sesuatu yang wajar—asal dalam kadar yang tepat. Sama kayak makanan kalau kebanyakan garam bakal keasinan bukan? Tapi kita masih butuh garam dalam kadar yang tepat untuk bikin rasa makanan kita enak. Sama kayak marah, menurutku anggap itu sebagai bagian dari dalam diri kita sebagai manusia. Saat ini aku menilai marah sebagai alarm penyadar—penyadar bahwa ada kecenderungan ketidakadilan yang aku rasakan. Ketika aku sudah mengenali perasaan itu,aku berusaha untuk tidak terjun lagi dalam marah yang mendalam. Tujuannya agar aku bisa sehat baik secara mental ataupun fisik. Dari pengalaman "marah" ini aku belajar banyak sekali, khususnya lebih mengenal diriku dan lebih mengenal kuasa Allah. Bagaimana Allah membantuku di setiap waktu dalam menemukan jawaban atas pertanyaan "marahku" selama ini.

Kamu bisa baca tulisan lain dariku disini yaa : parafrasedian.blogspot.com, selamat berkunjung 🙂


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingat Kembali Betapa Akhirnya Kau Melakukan Sesuatu di Luar Batas

First Times

Tanggung Jawab atas Pilihan Kita