Merayakan Kebersamaan di Bawah Langit Asrama

 Memoar oleh Izzatul Fitriyah (Ilmu Perpustakaan dan Informasi 2019)



Hari raya Idul Adha 1442 H jatuh pada tanggal tersebut. Biasanya, masyarakat merayakan hari raya dengan kembali ke kampung halaman dan bercengkerama bersama keluarga. Pada hari itu pula, aku dan keluargaku terpisah laut dan daratan sejauh kurang lebih 1.161 km. Sedikit menyedihkan, tapi sudah biasa. 

Sejak tahun 2016 hingga 2021, aku tidak pernah merayakan Idul Adha di kampung halamanku, Bali. Tahun 2020 menjadi pengecualian karena pada saat itu aku sudah mulai menjalani pembelajaran daring dari rumah. Memasuki awal tahun 2021, aku kembali ke Depok untuk keperluan magang dan bimsalabim! Aku kembali menjadi “Ria si Anak Rantau” dan “Ria si Anak Kos”. 

Libur Idul Adha tidaklah panjang, ditambah lagi pembatasan mobilitas antar daerah membuat ide untuk ‘pulang ke rumah’ terasa semakin tidak memungkinkan. Memperhatikan poin-poin tersebut, aku memutuskan untuk tidak kembali ke Bali. Pikirku, aku sudah sering merayakan Idul Adha sendirian atau jauh dari rumah, lantas apa bedanya dengan tahun ini? Setelah berlelah-lelah menjalani magang dan perkuliahan di weekday, libur Idul Adha menjadi kesempatan yang baik untuk mengurung diri di kamar, balas dendam atas waktu tidur yang tidak pernah cukup, serta menuntaskan list maraton film. Yup, rencana sudah terbentuk!

Sampai akhirnya pada 19 Juli, muncul chat yang mengajakku merayakan Idul Adha di asrama Tiara. 

Aku tidak ingat secara pasti siapa yang mengirimi aku pesan. Aku ingat ketika membaca pesan tersebut, aku sempat berpikir, “harus cari alasan apa ya untuk menolak dengan halus?”. Awalnya aku merasa enggan untuk merayakan Idul Adha di asrama Tiara. Aku merasa sangat lelah dan berpikir bahwa kesendirian di kota Depok jauh lebih akrab dibandingkan hiruk pikuk asrama. Namun, aku tidak menemukan alasan yang konkrit untuk menolak ajakan tersebut. Muncul rasa bersalah dari dalam diri, mengingat aku jarang berkunjung ke asrama Tiara yang jaraknya sangatlah dekat. Akhirnya, aku memutuskan untuk menerima ajakan tersebut dan berpikir, “habis makan sate aku langsung pulang saja.”

Tapi nyatanya? 

Aku sangat terhanyut dalam kebersamaan di asrama. Ikut memotong daging, belanja ke Detos, berdiskusi, sampai berdebat tentang hal gak jelas. Pelan-pelan aku jadi lupa dengan rencanaku untuk menghabiskan waktu seorang diri. Alih-alih, aku justru menghabiskan waktu dengan Tiara sampai malam. Setelah sesi makan sate pun, aku memutuskan untuk menginap dan merasakan sensasi tidur di ranjang tingkat asrama. 

Keesokan harinya, tanggal 20 Juli 2021. Hari raya Idul Adha. 

Aku bersama beberapa Tiara dan Ksatria yang masih menetap di asrama melaksanakan sholat ied di rooftop. Aku masih ingat kekaguman yang kurasakan karena pertama kali naik ke rooftop. Excited sekali! Aku sampai tergoda untuk melambai-lambaikan tanganku ke arah jembatan penyeberangan yang terlihat dekat dari rooftop. 

Namun, yang paling berkesan adalah sholat iednya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Jamaahnya hanya sedikit, kurang lebih sebanyak 10 orang. Meskipun demikian, aku merasa sangat terharu. Sejak perantauanku di SMA, aku terbiasa sholat ied di tempat asing; tanpa keluarga dan tanpa kerabat. Anehnya, aku merasa sholat ied kali ini seperti berada di tengah-tengah “keluarga”, padahal intensitas pertemuan secara langsung yang terjadi di antara aku dengan Ksatiara dapat dihitung dengan jari. Minim, tapi aku dapat merasakan rasa sayang yang nyata kepada mereka. Boleh jadi keluargaku ada di Bali, namun ketika aku di Depok, maka Ksatiara adalah keluargaku. 

Momen Idul Adha tahun 2021 menjadi pembelajaran yang berharga untukku. Barangkali kita sudah merasa terbiasa dengan kesendirian. Secara sekilas, kita tidak merasa kesepian dan baik-baik saja. Makan, tidur, bekerja, kuliah, semuanya masih berotasi dengan normal bahkan ketika kita tidak didampingi siapapun. Namun, terkadang kita lupa kalau interaksi sosial bukan sesuatu yang harus kita laksanakan ketika kita merasa “butuh” atau “kesepian”. Mungkin aku hanya tinggal di asrama bersama Tiara dalam jangka waktu yang sangat singkat, namun aku menyadari bahwa ketika aku sendiri, aku memang tidak merasa sedih. Tapi ketika bersama Tiara, aku jadi bahagia. Jauh lebih bahagia. 

Oleh karena itu, aku jadi tersadar. Sampai saat ini, aku menormalisasi kesendirian dan rasa kesepian yang ada sehingga rasanya sudah tidak mengganggu sama sekali. Tapi jika ada Tiara, kenapa aku harus sendirian? Kenapa aku harus makan seorang diri jika makan bersama Tiara terasa jauh lebih sedap? Kenapa harus beribadah sendirian jika berjamaah dengan Tiara dapat mendorong semangat? 

Terimakasih, Tiara. Bersamamu, setiap hari adalah momen yang patut dirayakan. 


Komentar

  1. AAAA seru banget bangeeet!! kebanyakan bertemu online, sepertinya bersua secara langsung benar-benar akan dirindukan. Setuju ria bahwa momen sekecil apapun setiap hari patut untuk kita rayakan. Terima kasih sudah berbagi

    BalasHapus

Posting Komentar